Pernah terjadi dalam sejarah pemilihan ketua, di antara sembilan formatur terpilih (waktu itu belum dipilih 13 pimpinan), tak satu pun yang bersedia menjadi ketua. Akhirnya, ke-13 formatur tersebut terpaksa memilih calon alternatif dan dipilihlah Buya Sutan Mansur.
---------------
Kader Muhammadiyah Tidak Gila Jabatan
Kader-kader Muhammadiyah biasanya tidak gila jabatan. Jangankan berebut kursi ketua misalnya, diberi amanah secara aklamasi pun mereka belum tentu mau menerimanya, karena kader Muhammadiyah tahu bahwa jabatan itu identik dengan berbagai beban dan tanggung-jawab yang harus dipikul.
Karena besarnya tanggungjawab dan beban yang harus dipikul itulah, maka Muhammadiyah tidak memilih secara langsung ketua umum pada muktamar, melainkan hanya memilih 13 pimpinan. Selanjutnya, ke-13 pimpinan itulah yang bermusyawarah memilih ketua.
Ironisnya, pernah terjadi dalam sejarah pemilihan ketua, di antara sembilan formatur terpilih (waktu itu belum dipilih 13 pimpinan), tak satu pun yang bersedia menjadi ketua. Akhirnya, ke-13 formatur tersebut terpaksa memilih calon alternatif.
Peristiwa tersebut terjadi dalam Muktamar ke-32 di Purwokerto, tahun 1953. Ketika itu, dari sembilan nama yang sudah dipilih muktamirin untuk melakukan musyawarah mufakat memilih Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah Periode 1953-1956, tak satu pun yang bersedia menjadi ketua.
"Ketika itu, ke-9 nama pengurus pusat yang terpilih tidak ada satu pun yang mau menjadi ketua, akhirnya mereka berangkat ke Padang untuk membujuk Buya Sutan Mansur agar mau menjadi ketua umum dan hijrah ke Jakarta atau Yogyakarta," ujar Dahlan Rais, panitia pemilihan Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang ditemui detikcom di media center muktamar di Menara Iqra, kampus Universitas Muhammadiyah Makassar, Selasa, 4 agustus 2015.
Buya Sutan Mansur diketahui menjabat dua periode sebagai ketua umum Muhammadiyah yakni periode 1953-1956 dan 1956-1959. Dalam sejarah Muhammadiyah, kepemimpinan Buya Sutan Mansur melahirkan Khittah Palembang, yang merupakan pokok pikiran arah garis perjuangan Muhammadiyah. Buya Sutan Mansur juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, setelah Pemilu 1955 digelar. (int)
@Copyrigh Jurnal Kareba Muktamar 47, edisi Rabu, 5 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar