Kamis, 06 Agustus 2015

MAARIF Instute: Peluncuran "Fikih Kepemimpinan Non_Muslim" Muktamar Muhammadiyah 47

(Foto:SyamB)
Makassar-- Persoalan kebhinekaan merupakan salah satu isu penting yang menjadi kepedulian pelbagai kelompok sipil dan akademisi, tidak terkecuali MAARIF Instute yang memiliki kedekatan kultural dengan Muhammadiyah dalam momen Muktamar 47 yang tengah berlangsung di Makassar, MAARIF Instute bersama UIN Alauddin Makassar meluncurkan bukuh "Fikih Kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewarganegaraan dan Kepemimpinan Non-Muslim(Mizan dan MAARIF, Juli,2015). Buku ini merupakan kumpulan pemikiran yang berkembang dalam Halaqah Fikih Kebhinekaan yang melibatkan para ulama dan Intelektual Muhammadiyah pada Februari lalu. Peluncuran dilakukan kamis 6 Agustus di Training Center, UIN Alauddin Makassar.


Hadir sebagai narasumber sekaligus pembedah yakni Dr. Mohd. Sabri AR (Dosen UIN Alauddin dan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah(PW) Muhammadiyah Sul-Sel), Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc.,MA.(Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) dan Ahmad Fuad Fanani, MA. (Direktur Riset MAARIF Instute) dengan moderator Muhd. Abdullah Darraz, MA. Sementara itu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif memberikan pengantar dalam diskusi tersebut.

Hadir pula Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Musafir Pababari dan wakil Rektor satu Prof. Ahmad Sewang.

Fikih kebhinekaan adalah sebuah rumusan fikih yang berpijak pada fenomena keragaman di masyarakat. Tujuannya adalah untuk memberikan panduan praksis di kalangan umat Islam Indonesia dalam mendorong hubungan sosial yang harmonis, menghilangkan diskriminasi, memperkuat demoktratisasi, dan memberikan landasan normatif-religius bagi negara dalam memenuhi hak-hak warga masyarakat secara keadilan.

Salah satu hal penting yang dibahas dalam buku ini adalah pandangan Islam memilih pemimpin non-muslim atau berbeda keyakinan.Ini sangat terkait dengan konsep keumatan yang inklusif, setiap individu berhak dipilih menjadi pemimpin atau memilih pemimpin. kesetaraan hak ini tidak dapat dibatasi oleh perbedaan identitas dan latar belakang (gender, strata sosial, keagamaan, dan etnis). Islam mengakui kehadiran seorang pemimpin yang berasal dari kalangan minoritas. Fenomena Halija Marding di Minahasa, seorang minoritas Muslim yang menjadi kepala desa di daerah yang mayoritas non-Muslim adalah fakta yang menarik, bahkan dua kali terpilih. Pun begitu sebaliknya, ada fenomena Lurah Susan di Jakarta yang non-Muslim. "Oleh karenanya sangat terbuka kemungkinan  memilih pemimpin non-Muslim ditengah masyarakat Muslim sepanjang tidak mengancam eksistensi dan keamanan masyarakat Muslim", demikian pernyataan Wawan Gunawan Abdul Wahid, M.Ag.

Dari kiri Dr. Mohd. Sabri AR, M.Ag, Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc.,MA. 

Muhd. Abdullah Darraz, MA,dan Ahmad Fuad Fanani, MA.  (Foto:SyamB)



Dihubungi secara terpisah sebelum acara, Direktur Eksekutif MAARIF Instute Fajar Riza Ul Haq juga menyampaikan pentingnya Fikih Kebhinekaan sebagai pedoman bagi hubungan sosial kemasyarakatan. "Peristiwa di Tolikara telah menyadarkan kita pentingnya merumuskan pedoman hubungan sosial kemasyarakatan yang majemuk seperti Indonesia. Semua umat beragama mesti memahami realitas kemasyarakatan dan bisa bersikap arif. Toleransi tulus haruslah bersifat dua arah, ada hubungan positif saling memberikan rasa aman bagi masing-masing pihak", terang Fajar.

Lebih lanjut fajar mengungkapakan bahwa Fikih Kebhinekaan mensyaratkan proses pembacaan secara kritis-kontekstual-historis terhadap literatul keagamaan dengan mempertimbangkan konteks sosial yang senantiasa berkembang secara dinamis. Model pembacaan tersebut dilakukan dengan menekankan pada tujuan hukum Islam (Maqasid asy-Syar'iah) untuk mencapai kemashlahatan umum (al-Mashlahah al-Ammah). " Hemat saya, Fikih Kebhinekaan ini senafas dengan visi Muhammadiyah untuk Islam berkemajuan, model islam kosmopolitan", jelas Fajar.


(SyamB/HKP)
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar