Rabu, 05 Agustus 2015

Pentingnya Partisipasi ‘Aisyiyah dalam Pelaksanaan UU Desa

Ilustrasi Desa
Satu Abad ‘Aisyiyah merupakan tonggak penting untuk mengembangkan partisipasi aktif dalam mengawal kebijakan pemerintah. Dalam hal ini ‘Aisyiyah mengawal pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa dengan beberapa alasan.

Pertama, pemerintah desa telah memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya dan sumber dana, kedua sentralisasi berakibat pada kesenjangan antara desa dan kota kemudian mendorong desa itu tidak ada sumberdaya, sehingga saat peralihan dari sentralisasi menuju desentralisasi dianggap membawa angin segar. “Maka ‘Aisyiyah menyambut baik lahirnya UU Desa ini,” ungkap Tri Hastuti Nur Rochimah, ditemui Selasa (4/8).
Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah itu, agenda kesejahteraan perempuan seringkali terpinggirkan dalam berbagai kebijakan pembangunan. Hadirnya UU Desa akan memberi peluang untuk mempengaruhi kebijakan desa. Pengalaman ‘Aisyiyah juga menunjukkan munculnya perempuan sebagai agen perubahan untuk kehidupan yang adil dan setara.

Merespon kebijakan pemerintah ini, ‘Aisyiyah menyusun rangkaian peran kunci yang dijalankan oleh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA), Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) dan Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (PRA) yang telah dirangkum dalam booklet “Perempuan Memberi Arti: Partisipasi ‘Aisyiyah dalam Mengawal UU Desa”.

"Garis besarnya, PDA perlu mengadakan konsolidasi dengan PCA dan PRA untuk mendiskusikan program-program yang akan diusulkan dalam Musyawarah Desa serta mengawal penyusunan Perda (peraturan daerah) tentang pelaksanaan UU Desa. PCA lah yang berperan untuk mengawal usulan dan PRA yang sebelumnya mengumpulkan aspirasi perempuan dan masyarakat kepada pemerintah desa, melalui forum warga", ungkapnya.

Tri Hastuti menambahkan, ‘Aisyiyah dapat mengoptimalkan partisipasi pelaksanaan UU Desa dengan mengembangkan berbagai strategi, seperti: 1) mengidentifikasi kader yang akan dilibatkan dalam musrenbang BPD, BKM dan LKMD; 2) merumuskan kebutuhan perempuan, anak-anak dan kelompok marjinal; 3) membangun jejaring dengan lembaga lain untuk mengefektifkan langkah; 4) melakukan koordinasi pimpinan organisai; 4) aktif terlibat dalam proses pembahasan pembangunan, seperti musrenbang untuk menyampaikan aspirasi perempuan.

Selain hal-hal di atas, Tri menyampaikan bahwa pelaksanaan UU Desa berpotensi konflik, peluang korupsi, dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Harapannya, keterlibatan ‘Aisyiyah sebagai organisasi masyarakat sipil dapat meminimalisasi potensi konflik dapat, peluang korupsi dilaporkan, dan diskriminasi dapat dihindari,” tutup Tri Hastuti.

Partisipasi ‘Aisyiyah dalam pelaksanaan UU Desa,  bukan sekedar petunjuk teknis atau sekedar strategi bagi PDA Bantaeng. Diwawancara Rabu (5/8), ‘Aisyiyah Bantaeng berbagi praksis unggul dalam mengawal UU Desa. “Sebelumnya, kami lakukan persiapan musrenbangdes dengan melibatkan kader ‘Aisyiyah dan simpatisan", ucap Kasmawati.

Ia juga bercerita bahwa ada 2 kelurahan yang berhasil mengawal UU Desa,”Ada dua kelurahan yang kami anggap berhasil mengawal UU Desa secara efektif yakni kelurahan Bontolebang dan desa Bontomajannang,” katanya. Kasmawati juga menegaskan bahwa perempuan dan anak menjadi fokus yang akan dibawa dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa hingga kabupaten. “Ada lima isu penting yang digarap, pemberian ASI eksklusif, layanan keluarga berencana, pencegahan kanker serviks melalui tes IVA, jaminan kesehatan, dan pernikahan dini,” tegasnya. (Achmad Zulfikar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar